Manusia, siapapun dirinya, dalam menerima karunia Alloh dalam bentuk apapun, dapat dikategorikan dalam tiga golongan.
Golongan pertama, yaitu orang yang gembira saat menerima nikmat, bukan karena yang memberi, tetapi gembiranya semata-mata karena kepuasan dan kelezatan hawa nafsunya atas nikmat itu. Golongan ini termasuk orang-orang yang lalai.
Golongan kedua adalah orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa itu nikmat yang diberikan oleh Alloh (orang ini bukan hanya senang atas nikmat yang diterima tapi juga mengingat pemberi nikmat, yaitu Alloh SWT).
Golongan yang ketiga adalah orang yang gembiranya hanya dengan Alloh. Tidak terpengaruh oleh lezatnya karunia . Ia sibuk memperhatikan Alloh. Tidak ada yang terlihat padanya selain dari Alloh.
Tiga golongan diatas bisa menjadi cermin bagi diri kita. Selama bertahun-tahun sejak dalam kandungan hingga detik ini kita terus menerus menerima nikmat pemberian-Nya yang tidak terbilang. Sebutlah misalnya nimat hidup, nikmat iman, kesehatan, nikmat mata, pendengaran, uang, rumah, kendaraan, istri/suami, anak, akal, hati, perasaan, nikmat matahari, udara, hujan, makanan, mata pencaharian, profesi dan seterusnya.
Semua nikmat itu tidak mungkin terhitung dengan bilangan nilai apapun. Sebut saja satu nikmat, otak misalnya. adakah yang bisa membayar harga otak manusia? Adakah yang mau menjual otaknya? Pasti tidak bisa membayar dan tidak ada yang mau menjualnya. Atau sebut yang bisa dikwantifikasi dengan harga, oksigen misalnya. Andai oksigen diminta membayar oleh Alloh pasti tidak ada manusia yang sanggup membayarnya. Meskipun untuk itu harus bekerja sepanjang hidupnya. Karena sedemikian banyak dan besarnya nikmat-nikmat Alloh kepada manusia, maka Alloh katakana tidak mungkin manusia mampu menghitungnya ”Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Alloh, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An Nahl: 18)
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi karunia Alloh yang kita terima selama ini? Jika semua nikmat itu menjadikan diri kita lalai dari menyembah Alloh dengan sungguh-sungguh.. Jika nikmat Alloh justru menjadikan kita semakin tenggelam dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Jika harta menjadikan akhlak kita semakin jauh dari ukuran mulia. Jika karunia menjadikan kita lalai dari menghamba kepada-Nya. Maka ketahuilah bahwa pasti yang demikian itu akan memasukkan kita kedalam golongan yang pertama. Yaitu menerima dan menikmati lezatnya karunia seraya melupakan Sang Pemberi karunia.
Tentu menjadi orang-orang yang beruntung adalah orang yang termasuk golongan kedua. Yaitu menerima, menikmati dan menyenangi karunia yang diterima dengan menyadari bahwa semua itu bahwa karunia yang berada dalam genggamannya adalah pemberian-Nya semata. Orang-orang ini bisa bersyukur kepada Alloh Sang Maha Pemberi karunia.
Sedang golongan yang ketiga yaitu orang yang tidak terpengaruh dengan segala karunia. Yang ada dalam benak dan pikirannya hanyalah Alloh semata. Yang demikian itu hanya bisa dilakukan oleh hamba-hamba khusus yang zuhud dalam kehidupan dunia. Hamba-hamba pilihan yang jumlahnya tidak banyak di muka bumi-Nya.
Tentang karunia Alloh kepada manusia, ada dua pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh kita semua.
Pertama apakah kita menyadari bahwa karunia kebaikan apapun yang kita nikmati selama ini merupakan pemberian-Nya? Sebuah pertanyaan sepele sepertinya. Realitasnya bisa tidak demikian adanya. Karena boleh jadi ada manusia yang tidak menyadari bahwa apa yang dia nikmati merupakan pemberian-Nya. Jawab saja pertanyaan ringan ini. Seberapa banyak kita menyadari bahwa kita bisa bernafas normal merupakan karunia –Nya? Pernahkah kita menyadari sampai dikedalaman hati bahwa oksigen yang kita hidup merupakan karunia-Nya? Pernahkah kita menyadari bahwa hujan dan sinar matahari merupakan karunia-Nya. Jangan-jangan ada diantara kita yang lupa menyadari bahwa bernafas dengan normal, oksigen, hujan dan matahari merupakan karunia-Nya?
Kedua adalah seberapa banyak syukur kita atas semua karunia yang dianugrahkan kepada diri kita semua? Kesyukuran ini juga tidak mudah. Terhadap karunia yang bersifat menetap pada manusia sering lalu dianggap sebagai hal yang biasa. Contohnya pemberian orang tua dan tetangga. Orang tua setiap hari memberi kita makan, minum dan semua kebutuhan . Lalu kita lupa mengucapkan terima kasih karena merasa yang demikian itu merupakan kewajibannya sebagai orang tua. Tetapi sebaliknya saat tetangga mengantarkan 2 atau 3 potong kue kue kerumah kita, maka kita pasti bersegera mengucapkan banyak terima kasih. Meskipun kue itu baru sampai ditangan kita dan belum kita nikmati rasanya.
Sikap seperti itu bisa berlaku atas semua karunia yang diberikan kepada manusia. Karena bersifat menetap selama hidup, bisa jadi menjadikan manusia lupa mensyukuri semua nikmat-Nya. Matahari, udara, hujan, bernafas, berfikir, merasa dan seterusnya lupa disyukuri karena rutin terjadi sehari-hari.
Ada yang harus lebih dikhawatirkan oleh manusia dalam soal penyikapan atas karunia-Nya. Ialah karunia yang sampainya dilewatkan dari tangan manusia lainnya. Dalam soal seperti itu, manusia yang tidak peka mata hatinya boleh jadi meniadakan–Nya. Menganggap yang memberi semata-mata manusia. Contohnya banyak. Salah satu diantaranya adalah gaji bulanan bagi pegawai dan karyawan. Atau keuntungan bagi pedagang dan pengusaha. Jika tidak hati-hati bisa menggelincirkan hati. Seperti mengira bahwa gaji merupakan pemberian negara atau perusahaan semata dan bukan bagian dari karunia-Nya.Demikian juga dengan mengira bahwa keuntungan perdagangan atau usaha .merupakan hasil jerih payah semata dan bukan bagian dari karunia-Nya Kalau itu terjadi tergelincirlah hati manusia dengan nyata.
PR bagi kita semua adalah menjawab pertanyaannya ini di hati masing-masing. Bagaimana penyikapan kita selama ini atas karunia-Nya ? Sudah luruskah atau malah sebaliknya.?
Wallohu a’lam bisshowab.
Oleh : Robert Xu Jiantou
From : PITI ( Persatuan Islam Tionghoa Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar